BAD NEWS
Hari Rabu (12 Nov 2014) kemarin kantor berita Reuters mengejutkan kita dengan berita tentang 5 bank kakap dunia yang didenda oleh regulator di Eropa. Kredibilitas bank global kembali tercoreng setelah regulator membuktikan terjadinya manipulasi. Kelima bank tersebut harus membayar denda sebesar USD3.4 miliar (Rp 40,8 trilyun) kepada otoritas keuangan Inggris (FCA), Komisi Perdagangan Komoditas (CFTC) dan Regulator Keuangan Swiss (FINMA).
Martin Wheatley, CEO FCA mengatakan “Rekor denda ini menandai bahwa bank harus bertanggung jawab untuk memastikan tidak terjadinya manipulasi transaksi”. Walaupun masih ada lagi bank kakap lainnya yang sedang dalam proses penyelidikan yang sangat mungkin akan juga diganjar dengan denda yang tidak sedikit.
Kejadian terhangat tersebut hanya menambah panjang bagaimana bank besar telah lalai dalam menerapkan kepatuhan atas peraturan dalam industri keuangan. Dan seberapa besar biaya yang telah dan akan mereka keluarkan. Bahkan mungkin telah membuat beberapa bank global tamat riwayatnya seperti BCCI dan Baring Bank.
SENGKARUT DALAM NEGERI
Kalau kita mau menengok kejadian didalam negeri, tentunya sangat gampang menemukan kasus-kasus kepatuhan tersebut. Batalnya right issue PT. Bumi Resouce TBK merupakan contoh compliance issue yang masih hangat, Oktober 2014 silam. Tudingan terkait tata kelola mengarah ke manajemen, menyangkut apa yang tercantum pada prospektus tak terlihat pada laporan keuangannya. Analis mencurigai manajemen telah melakukan akrobatik keuangan terkait dengan portfolio hutangnya. Jurus akrobatik tersebut berupa gali lubang tutup lubang. Ini memang sah-sah saja, tetapi banyak investor yang meragukan keberhasilannya terkait dengan proyeksi keuangan di pasar global.
Dari sisi regulator, banyak peraturan yang dikeluarkannya tetapi ada sejumlah aturan yang tidak dapat diterapkan sepenuhnya oleh pelaku pasar. Larangan short sale dilakukan oleh manajer investasi (MI), misalnya. Ini mudah dibuat aturannya, tetapi cukup pelik bagi bank kustodian untuk memastikan bahwa MI tidak melakukan short sale atas transaksi saham dari portofolio reksadananya di bursa. Contoh lainnnya adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang transaksi Valas terhadap Rupiah yang mulai berlaku 10 November 2014 kemarin. PBI tersebut memperbolehkan pembelian Valas untuk memenuhi kebutuhan pembayaran/perdagangan di dalam negeri, padahal menurut Undang-Undang Mata Uang, perdagangan di dalam negeri harus menggunakan Rupiah sebagai alat pembayarannya. Walaupun PBI ini untuk mengakomodasi permintaan pelaku pasar, tetap saja hal tersebut bertentangan dengan peraturan ditingkat yang lebih tinggi, Undang-Undang. Ini tentunya bisa menimbulkan kebingungan tersendiri.
Bahkan ada sejumlah aturan yang dapat menghasilkan satupun produk keuangan karena belum jelas pelaksanaannya. Aturang dual listing misalnya. Ini terbukti, meskipun perusahaan public diluar negeri diperbolehkan listing di Bursa Efek Indonesia, tetapi setelah 7 tahun aturan itu terbit, belum ada satu perusahaan pun yang listing di bursa kita. Aturan municipal bond (Obligasi daerah) adalah contoh lainnya. Sejak ditetapkan oleh Bapepam-LK tahun 2007 lalu, sampai saat ini belum ada satupun obligasi daerah yang diterbitkan. Hal ini karena pemerintah daerah belum bisa comply untuk memenuhi semua persyaratan yang diatur. Kenyataan tersebut juga mengundang perhatian yang cukup kuat dari pelaku usaha dan stakeholder lain pada umumnya untuk dapat memanfaatkan kondisi yang ada baik secara positif maupun sebaliknya.
LINE OF DEFENCE
LINE OF DEFENCE
Ibarat seorang trader saham ulung yang akan bisa memetik keuntungan walaupun pasar sedang bearish, banyaknya permasalahan kepatuhan juga dapat memunculkan bisnis konsultan yang khusus menangani risiko kepatuhan yang mungkin timbul. Bisnis konsultan ini sudah mulai merebak ke Indonesia. Lepas dari sisi itu, kenyataan - kenyataan di atas juga menunjukkan bagaimana peran kepatuhan dalam sebuah organisasi menjadi semakin penting. Setiap lini bisnis harus sadar atas perannya dalam bertindak untuk selalu memperhatikan hal-hal yang telah digariskan oleh regulator. Tiga level pertahanan harus dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Baik itu unit kerja bisnis sebagai first line of defence, unit kerja Kepatuhan sebagai second line of defence dan juga unit kerja internal kontrol sebagai benteng terakhir, third line of defence kepatuhan bank.
Seberapapun keuntungan yang diperoleh oleh organisasi, kalau cara memperolehnya dilakukan dengan cara tidak comply, tentunya akan habis termakan biaya dan provisi atas ketidakpatuhan tersebut. Bahkan dapat saja dipaksa gulung tikar karena nasabah pada kabur ke pesaing atau ditutup oleh regulator. Dan pengurusnya tentu saja dapat menginap di hotel prodeo dengan waktu yang tidak sebentar, bahkan sangat lama, melebihi rata-rata umur manusia. Sehingga pepatah baru tidak terlalu aneh untuk dikenalkan: comply pangkal untung.
Bekasi, 16 November 2014